Mengapa Moderasi Beragama Relevan??
Keberagaman di Indonesia merujuk pada variasi yang ada dalam masyarakat, termasuk perbedaan suku, agama, ras, budaya, bahasa, dan tradisi. Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat beragam, dengan lebih dari 300 kelompok etnis dan lebih dari 700 bahasa yang digunakan. Keberagaman ini merupakan salah satu ciri khas yang membentuk identitas bangsa Indonesia. Keberagaman di Indonesia memiliki beberapa aspek penting. Keberagaman menjadi bagian integral dari identitas bangsa. Hal ini menciptakan rasa kebersamaan dan persatuan di tengah perbedaan. Selain itu keberagaman menjadi penting sebagai symbol toleransi dan kerukunan dalam bermasyarakat. Keberagaman mendorong masyarakat untuk belajar saling menghormati dan memahami satu sama lain. Ini penting untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan antar suku.
Di era modern ini, masyarakat di seluruh dunia menghadapi tantangan yang kompleks terkait dengan polarisasi dan ekstremisme. Dalam konteks masyarakat majemuk, urgensi moderasi menjadi semakin penting untuk menjaga keharmonisan dan keberlanjutan sosial bermasyarakat. Polarisasi merujuk pada dualisme masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling berlawanan, sering kali disertai dengan kebencian dan kecurigaan. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap polarisasi platform digital yang sering kali mempertegas perbedaan pendapat, menciptakan ruang gelembung (echo chamber) dalam bentuk algoritma sosial media di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka. Kemudian adanya politik yang berorientasi pada identitas kelompok dapat membangun batasan yang kaku antar kelompok, memicu konflik dan ketidakadilan, serta ketidakadilan ekonomi yang dapat memperburuk polarisasi, di mana kelompok yang terpinggirkan merasa diabaikan dan merasa suara mereka tidak didengarkan. Berikutnya ekstremisme dalam masyarakat majemuk baik dalam bentuk ideologi politik, agama, maupun sosial, yang dapat mengancam stabilitas masyarakat. Dalam masyarakat majemuk, ekstremisme sering kali muncul sebagai respons terhadap marginalisasi atau ketidakpuasan terhadap sistem yang ada. Beberapa karakteristik ekstremisme adalah cenderung menolak keberagaman dan berusaha untuk menghapus atau mendiskreditkan pandangan yang berbeda dan sering kali mengekspresikan diri melalui tindakan kekerasan, yang dapat menyebabkan kerusuhan sosial dan trauma mendalam dalam masyarakat serta adanya radikalisasi yaitu proses di mana individu atau kelompok beralih ke pandangan ekstrem dapat dipicu oleh pengalaman pribadi, lingkungan sosial, atau propaganda yang dapat menyesatkan.
Psikologi, khususnya psikologi sosial, memiliki peran penting dalam memahami moderasi beragama dan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat yang beragam. Dalam konteks ini, moderasi beragama dapat dilihat sebagai sikap yang menghargai perbedaan dan menghindari ekstremisme dalam praktik keagamaan. Toleransi adalah penerimaan terhadap perbedaan yang ada, termasuk perbedaan agama. Dalam masyarakat yang beragam, toleransi merupakan fondasi untuk membangun hubungan yang harmonis antarindividu dari latar belakang yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku toleran sangat penting dalam menjalin relasi, baik di tingkat lokal maupun global (Supriyanto, 2018). Toleransi tidak hanya mencakup sikap menerima, tetapi juga menghargai dan memahami perbedaan yang ada. Dari perspektif psikologi sosial, sikap moderat dapat dipahami sebagai hasil dari interaksi antara individu dengan lingkungan sosialnya. Faktor-faktor seperti pendidikan, pengalaman sosial, dan nilai-nilai budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengembangkan sikap moderat terhadap agama lain. Sikap ini penting untuk menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif (Theguh & Bisri, 2023).
Mengenal Falsafah Huma Betang Kalimantan Tengah
Secara struktur fisik, Huma Betang biasanya dibangun dengan bahan-bahan alami seperti kayu dan bambu. Rumah ini memiliki desain yang panjang dan lebar, dengan ruang-ruang yang terbagi untuk berbagai keluarga. Keberadaan ruang bersama di tengah rumah memungkinkan interaksi sosial yang intens antar penghuni. Berdasarkan struktur fungsi ini Huma Betang berfungsi sebagai simbol kerukunan dalam masyarakat Dayak. Setiap anggota keluarga, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, diharapkan dapat hidup berdampingan dengan saling menghormati dan mendukung satu sama lain. Hal ini menciptakan lingkungan yang harmonis dan stabil. Dalam konteks Huma Betang, solidaritas di antara anggota keluarga sangat ditekankan. Kegiatan sehari-hari seperti makan bersama, merayakan acara adat, dan membantu satu sama lain dalam pekerjaan sehari-hari memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Kehidupan dalam Huma Betang juga mencerminkan prinsip gotong royong, di mana setiap individu berkontribusi untuk kesejahteraan bersama. Ini menciptakan rasa tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan dan komunitas (Loi et al., 2023).
Nilai toleransi dalam Huma Betang terlihat melalui praktik saling menghormati antar anggota komunitas yang berbeda latar belakang. Masyarakat Kalimantan Tengah, terutama di Palangka Raya, telah lama mengadopsi prinsip-prinsip ini untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul akibat perbedaan keyakinan atau budaya. Penelitian menunjukkan bahwa upaya sosialisasi nilai kebersamaan oleh Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) di Palangka Raya berfokus pada penguatan hubungan antar umat beragama melalui musyawarah dan mufakat. Huma Betang juga berfungsi sebagai model untuk memperkuat hubungan antaragama dengan menciptakan ruang dialog dan interaksi sosial. Melalui kegiatan bersama, seperti perayaan budaya dan acara keagamaan, masyarakat dapat saling memahami dan menghargai perbedaan. Dengan menerapkan nilai-nilai kebersamaan yang diajarkan oleh Huma Betang, masyarakat dapat lebih mudah menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah atau isu-isu lain yang sensitif. FKUB di Palangka Raya telah menunjukkan bahwa pendekatan berbasis musyawarah dapat menghasilkan keputusan yang diterima (Erawati, 2011).
Perspektif Psikologi Sosial terhadap Moderasi Beragama dalam Huma Betang
Psikologi kelompok dan kohesi sosial dalam konteks kehidupan bersama di Huma Betang juga memiliki pengaruh signifikan dalam menciptakan rasa saling memiliki dan mengurangi konflik di masyarakat Dayak. Huma Betang, sebagai rumah adat yang dihuni oleh beberapa keluarga, mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan kepemimpinan yang penting dalam interaksi sosial. Huma Betang merupakan simbol dari kehidupan kolektif masyarakat Dayak, di mana nilai kebersamaan dan gotong royong (handep) menjadi prinsip utama. Kehidupan bersama ini mendorong anggota komunitas untuk saling mendukung dan bekerja sama dalam berbagai aspek kehidupan, yang secara langsung mengurangi potensi konflik. Filosofi Huma Betang juga menekankan pentingnya toleransi dalam menghadapi perbedaan. Dalam konteks multikultural Indonesia, nilai-nilai ini berfungsi sebagai landasan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengatasi pengaruh negatif dari radikalisme yang dapat memecah belah masyarakat (Lukman, 2018; Rahmawati, 2019). Komunikasi dan transmisi nilai budaya juga terjadi dalam Proses komunikasi yang terjadi di Huma Betang membantu melestarikan nilai-nilai budaya yang ada. Dengan tinggal bersama, anggota komunitas dapat secara langsung mentransmisikan nilai-nilai tersebut kepada generasi muda, sehingga memperkuat identitas budaya dan kohesi sosial (Erawati, 2011; Nugrahaningsih, 2013).
Dalam konteks penanganan konflik antar umat beragama, sosialisasi nilai kebersamaan yang dipraktikkan di Huma Betang dapat menjadi model untuk menjembatani perbedaan. Melalui musyawarah mufakat, masyarakat dapat mencapai kesepakatan yang mengedepankan kepentingan bersama (Erawati, 2011). Selain itu pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan tentang kearifan lokal juga menjadi strategi efektif untuk mengurangi konflik. Dengan memahami dan menghargai nilai-nilai lokal seperti yang terdapat dalam filosofi Huma Betang, generasi muda dapat lebih siap menghadapi tantangan globalisasi tanpa kehilangan identitas budaya mereka (Lukman, 2018; Rahmawati, 2019). Secara keseluruhan, kehidupan bersama di Huma Betang tidak hanya memperkuat kohesi sosial tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme untuk mengurangi konflik dalam masyarakat yang beragam.
Implementasi Nilai Huma Betang dalam Masyarakat Majemuk
Penerapan prinsip Huma Betang di luar Kalimantan Tengah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi ini ke dalam kehidupan masyarakat modern yang plural. Huma Betang, yang merupakan simbol dari kebersamaan dan keharmonisan masyarakat Dayak Ngaju, mengajarkan beberapa nilai fundamental yang relevan dan dapat diterapkan dalam konteks masyarakat yang beragam. Untuk menerapkan nilai-nilai Huma Betang dalam masyarakat modern yang plural, beberapa langkah konkret dapat diambil adalah dengan pelaksanaan pendidikan multikultural, dengan mengintegrasikan pendidikan tentang nilai-nilai Huma Betang dalam kurikulum sekolah dapat membangun kesadaran akan pentingnya toleransi dan kerjasama di kalangan generasi muda. Kedua forum dialog antarbudaya dengan cara membentuk forum atau kelompok diskusi yang melibatkan berbagai komunitas untuk berbagi pengalaman dan membahas isu-isu sosial bersama. Ketiga proyek komunitas bersama dengan mengadakan proyek-proyek sosial yang melibatkan berbagai kelompok etnis dan agama untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah lokal, seperti kebersihan lingkungan atau bantuan kemanusiaan. Terakhir dengan mengadakan kegiatan budaya bersama seperti menyelenggarakan acara budaya yang merayakan keberagaman, seperti festival makanan atau seni, untuk memperkuat hubungan antar komunitas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Huma Betang, masyarakat modern dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan saling menghormati, meskipun terdapat perbedaan latar belakang budaya dan agama.
Implementasi lainnya juga dapat tercermin dalam pendidikan dan komunitas lokal. Moderasi beragama merupakan konsep yang sangat penting dalam konteks pendidikan dan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Melalui pendidikan formal dan informal, strategi pembentukan nilai moderat dapat dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan toleran. Salah satu implementasi dalam pendidikan formal adalah kurikulum yang inklusif. Misalnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam di Indonesia telah mengembangkan kurikulum yang menekankan pada nilai integritas, solidaritas, dan tenggang rasa (Anggraeni et al., 2023). Ini bertujuan untuk membentuk generasi muda yang menghargai keberagaman dan mampu hidup berdampingan secara damai. Selain itu pelaksanaan pelatihan dan penguatan kurikulum untuk memberikan pemahaman kepada pendidik tentang pentingnya moderasi beragama. Dalam acara tersebut, para tokoh agama dan pendidikan berdiskusi tentang peran moderasi dalam menciptakan keseimbangan sosial. Dalam pendidikan informal kearifan lokal dapat menjadi landasan penting dalam pendidikan moderasi beragama. Misalnya, nilai-nilai dalam filosofi adat Sunda seperti silih asah, silih asih, dan silih asuh mengajarkan saling menghargai dan menghormati antar sesama (Ervanto, 2023). Ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya terjadi di kelas tetapi juga dalam konteks budaya lokal.
Tantangan dalam Mengimplementasikan Moderasi Beragama
Kendala budaya dan sosial dalam mewujudkan moderasi beragama di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan budaya. Perbedaan budaya di Indonesia yang kaya akan keragaman seringkali menjadi sumber konflik dalam konteks moderasi beragama. Beberapa kelompok masyarakat mungkin merasa terancam oleh nilai-nilai atau praktik keagamaan yang berbeda dari tradisi mereka sendiri. Misalnya, praktik-praktik keagamaan yang dianggap “asing” atau tidak sesuai dengan norma lokal dapat memicu intoleransi dan diskriminasi. Selain itu, pengaruh budaya lokal sering kali mengakibatkan akulturasi yang bisa bertentangan dengan ajaran agama yang lebih ortodoks, menciptakan ketegangan antara tradisi dan modernitas. Pada faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam moderasi beragama. Ketidaksetaraan ekonomi dapat memperburuk ketegangan sosial dan menciptakan kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan. Dalam konteks ini, kelompok-kelompok yang kurang beruntung mungkin lebih rentan terhadap ideologi ekstremis yang menawarkan solusi sederhana untuk masalah kompleks mereka. Ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi sering kali dimanfaatkan oleh politisi untuk menggalang dukungan dengan menggunakan isu-isu identitas agama, yang memperburuk polarisasi masyarakat. Tantangan lainnya adalah politik identitas yang menjadi salah satu hambatan utama dalam mewujudkan moderasi beragama di Indonesia. Politisi sering kali menggunakan simbol-simbol agama untuk menarik suara, yang dapat memperkuat konservatisme dan radikalisasi di kalangan pemilih mereka. Kebijakan yang mengedepankan nilai-nilai agama tertentu juga dapat menciptakan ketidakadilan bagi kelompok lain, sehingga menambah ketegangan antaragama dan antarbudaya. Selain itu, pemerintah terkadang terjebak dalam permainan politik yang mengutamakan stabilitas jangka pendek daripada dialog konstruktif antara berbagai kelompok dan politik.
Mengatasi hambatan psikologis dan sosial dalam penerapan moderasi beragama di Indonesia memerlukan pendekatan berbasis psikologi sosial yang dapat mengidentifikasi dan mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Salah satunya adalah penguatan keluarga dan komunitas. Peran keluarga adalah mendorong keluarga untuk menjadi agen sosialisasi yang positif dalam membentuk sikap moderat di kalangan anak-anak. Lingkungan keluarga yang mendukung dapat membantu pemuda mengembangkan sikap toleran (Dasriansya & Naldi, 2024). Selanjutnya membangun komunitas yang mendukung moderasi beragama dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan organisasi non-pemerintah untuk memberikan dukungan moral dan praktis dalam penerapan nilai-nilai moderat (Kombong et al., 2023)
Kesimpulan: Meneguhkan Moderasi Beragama melalui Nilai Huma Betang
Secara keseluruhan, nilai-nilai Huma Betang memberikan kerangka kerja yang kuat untuk moderasi beragama di Indonesia. Melalui toleransi, kebersamaan, dan gotong royong, masyarakat Suku Dayak menunjukkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan sumber kekuatan untuk membangun masyarakat yang damai dan harmonis. Pendekatan ini sangat relevan dalam konteks multikultural Indonesia, di mana pengakuan terhadap perbedaan harus disertai dengan komitmen untuk hidup bersama dalam kerukunan. Rekomendasi bagi akademisi dan praktisi mengingat pentingnya penelitian dan pengembangan program berbasis nilai lokal untuk memperkuat moderasi beragama. Penelitian dan pengembangan program berbasis nilai lokal sangat penting dalam memperkuat moderasi beragama, terutama di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya dan agama.
Harapan untuk masyarakat Indonesia yang lebih moderat dan harmonis dapat dicapai melalui penerapan falsafah Huma Betang, yang merupakan prinsip kearifan lokal dari masyarakat Dayak. Falsafah ini menekankan pentingnya persatuan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan, yang sangat relevan dalam konteks keberagaman Indonesia. Dengan mengedepankan prinsip-prinsip Huma Betang, diharapkan masyarakat Indonesia dapat bergerak menuju kehidupan yang lebih harmonis dan moderat, mengurangi konflik sosial, serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi semua pihak.
Referensi
Anggraeni, D., Abkha, A. O., Azizah, W. R. S., Kadza, S. L., Taufiq, T. M., & Nafisah, D. A. M. (2023). Praktik Moderasi Beragama dalam Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat Multikultural di Bali. Indonesian Journal of Islamic Education and Local Culture (IJIELC), 1(2). https://doi.org/https://doi.org/10.22437/ijielc.v1i2.30774
Dasriansya, & Naldi, A. (2024). MODERASI BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA. AT-TAZAKKI, 8(1), 40.
Erawati, D. (2011). Pengembangan Model Sosialisasi Nilai Kebersamaan Sebagai Upaya Menanggulangi Konflik Antar Umat Beragama Dalam Kehidupan Bermasyarakat (Studi Kasus di FKUB kota Palangka Raya).
Ervanto, W. (2023, August 8). Harmoni dalam Keberagaman: Kearifan Lokal sebagai Landasan Pendidikan Moderasi Beragama. Pendis Kemenag . https://pendis.kemenag.go.id/direktorat-kskk-madrasah/harmoni-dalam-keberagaman-kearifan-lokal-sebagai-landasan-pendidikan-moderasi-beragama
Kombong, S., Riu, D., Rangan, Y., Tiku, A. T., & Siling, Y. (2023). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT MODERASI BERAGAMA DI KALANGAN PEMUDA KRISTEN. Jurnal Salome: Multidisipliner Keilmuan, 1(5), 406–416.
Loi, A., Kwirinus, D., & Peri, H. (2023). THE CONCEPT OF. Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora, 14(2), 219. https://doi.org/10.26418/J-PSH.V14I2.64914
Lukman, A. A. (2018). PEWARISAN NILAI SEBAGAI PEMBENTUK KEPRIBADIAN BERKARAKTER MELALUI FALSAFAH HUMA BETANG SUKU DAYAK KALIMANTAN. SOSIETAS, 8(1). https://doi.org/10.17509/SOSIETAS.V8I1.12498
Nugrahaningsih, Y. (2013). Proses Komunikasi Masyarakat Dayak Ngaju Dalam Rangka MelestarikanNilai-Nilai Hidup Huma BetangStudi di lingkungan masyarakat Dayak Ngaju di Desa Buntoi Kalimantan Tengah.
Rahmawati, N. (2019). IMPLEMENTASI NILAI KEHARIFAN LOKAL (HUMA BETANG) DALAM INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT DAYAK DI KOTA PALANGKA RAYA. Tampung Penyang, 17(01), 18–30. https://doi.org/10.33363/TAMPUNG-PENYANG.V17I01.426
Supriyanto, S. (2018). Memahami dan Mengukur Toleransi dari Perspektif Psikologi Sosial. Psikoislamika Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam, 15(1), 23. https://doi.org/10.18860/PSI.V15I1.6659
Theguh, & Bisri, B. (2023). MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF ETIKA (ANALISIS PEMIKIRAN FRANZ MAGNIS-SUSENO). JURNAL ILMIAH FALSAFAH: Jurnal Kajian Filsafat, Teologi Dan Humaniora, 9(2), 98–114. https://doi.org/10.37567/JIF.V9I2.2295
No comments:
Post a Comment